Oleh : Apriliska Lattu Titahena (Mahasiswa Pascasarja Administrasi Pendidikan UKSW. Sekarang aktif di Amnesty Movement Of Ambon, Wakabid Keperempuanan LSM PMPRI Maluku dan Koordinator Komunitas Beta Peduli Maluku)
“Sudah terisolasi, tergerus pula oleh janji manis mulut penguasa”.
Demikianlah ungkapan keresahan, ketika menggambarkan situasi dan kondisi Inamosol saat ini. Inamosol adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Daerah ini berada di wilayah pegunungan Pulau Seram. Kondisi demografi wilayah pegunungan sangat membutuhkan akses infrastruktur jalan sebagai penghubung. Ini penting untuk mempermudah aktivitas masyarakat.
Selain itu, wilayah pegunungan ini memiliki sumber daya alam yang kaya. Hasil alam seperti damar, sagu, cengkih, buah-buahan, umbi-umbian, dan berbagai hasil alam lainnya memang menjanjikan. Sehingga kehidupan masyarakat bergantung pada hasil-hasil alam yang ada.
Sudah barang tentu, hasil-hasil alam tersebut memerlukan akses yang baik untuk dipasarkan. Dengan adanya kemudahan akses, perputaran ekonomi rakyat yang lebih terarah dapat didukung, demi mencapai peningkatan taraf hidup yang lebih baik.
Sayangnya selama 76 tahun menjadi bagian dari Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, masyarakat Inamosol masih termarginalkan. Sebab berpuluh-puluh tahun semenjak Indonesia merdeka, masyarakat Inamosol belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Masyarakat nyaris tak merasakan kue pembangunan. Padahal kami punya hak sama di negara ini. Iming-iming pemenuhan hak-hak konstitusional dengan membangun fasilitas memadai masih menjadi wacana setengah hati. Selama ini, aktivitas di ibu kota Kecamatan Inamosol berjalan dengan tidak normal.
Keadaan pincang ini dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur jalan penghubung Kairatu – Honitetu yang rusak parah. Padahal jalan merupakan nadi kehidupan masyarakat di wilayah ibu pegunungan ini.
Meski berstatus provinsi, pemeliharaan dan perbaikan jalan tidak serius dilakukan. Sehingga walau sudah berabad-abad digunakan, jalan puing-puing peninggalan Belanda yang dikerjakan dengan sistem rodi (kerja paksa) ini sangat tidak layak untuk dilalui lagi. Sekarang, jalan tertua di Pulau Seram tersebut telah rusak termakan usia.
Upaya masyarakat melalui lobi-lobi kepada pemerintah selama bertahun-tahun hanya mengambang di ruang-ruang janji manis. Proyek yang dianggarkan untuk pembuatan jalan warisan penjajah ini belum sepenuh hati terealisasi.
Padahal jika berangkat dari visi Gubernur dan Wakil Gubernur 2019-2024 “Maluku Yang Terkelola Secara Jujur, Bersih Dan Melayani, Terjamin Dalam Kesejahteraan, Dan Berdaulat Atas Gugusan Kepulauan” dengan misi pada poin 3 “Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan”, dan poin 4 “peningkatan infrastruktur dan konektivitas gugus pulau”, masyarakat mulai menaruh harapan besar pada pemerintahan rezim ini. Malangnya, visi-misi ini bagaikan gula-gula karet yang habis manis haram hukumnya ditelan.
Patut menjadi pertanyaan, bahwa sudah sejauh mana keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah peningkatan aksebilitas dan konektivitas didaerah terisolasi seperti Inamosol, demi mengoptimalikan pelayanan kepada masyarakat? Tentunya masyarakat menantikan realiasi nyata dilapangan, bukan janji tumpang tindih janji yang berakibat hilang percaya.
Permasalahan Inamosol bukan isu baru untuk diperbincangkan. Sejak lama, pendekatan dialogis hingga demonstrasi sudah ditempuh berulang kali. Sebut saja, gerakan Save Inamosol pada tahun 2019, gerakan Peduli Negeri pada 2020, dan pengawalan proses perjuangan yang gerakannya masih tetap dirawat hingga hari ini.
Dengan demikian masyarakat Inamosol tetap pada komitmen yang sama untuk serius meraih kemenangan agar sepenuhnya keluar dari keterisolasian. Sangat disesalkan apabila keseriusan rakyat justru direspon main-main oleh pelayan rakyat. Ini justru menjadi faktor penghambat kemajuan di Negeri ini.
Pemerintah Daerah Main Curang, 16 M Hilang Tanpa Bekas
Ruas jalan Kairatu – Inamosol merupakan salah satu ruas jalan yang berstatus provinsi dengan nomor ruas 045 yang panjangnya 24, 70 kilometer. Jalan ini ditetapkan bersama 72 ruas jalan lainnya sesuai Keputusan Gubernur Maluku Nomor 273 Tahun 2016, tentang Penetapan Ruas Jalan Menurut Statusnya sebagai Jalan Provinsi, dan Keputusan Gubernur Maluku Nomor 206 Tahun 2018 tetang Penetapan Ruas Jalan dalam Jaringan Jalan Premier menurut Fungsinya sebagai Jalan Jalan Kolektor-2 (JKP-2) jalan Kolektor-3 (JKP-3).
Pembangunan jalan Kairatu – Honitetu pernah dikerjakan bertahap dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang realisasinya kurang lebih sepanjang 5 kilometer. Kemudian pada akhir tahun 2020 dan awal 2021, jalan warisan kolonial Belanda ini dikerjakan lagi sepanjang 4 kilometer.
Berdasarkan data LPSE Provinsi Maluku, anggaran untuk tender proyek jalan ini telah menghabiskan dana Rp.16 Milyar (M). Dan Rp.16 Milyar dapat dikalkulasi dari tender tertanggal 5 November 2020 untuk pembangunan ruas jalan Kairatu-Honitetu sebanyak Rp.14 M, dan tender 2021 untuk peningkatan jalan Kairatu-Honitetu sebanyak Rp.2 M. Naasnya, harapan tidak sesuai kenyataan. Hasil dikertas mengkhianati hasil dilapangan.
Menelan pil janji pembangunan tidak membuat sehat di negeri yang sakit-sakitan. Wilayah kami bukan tempat proyek fiktif. Sebelumnya kami sudah merasakan menjadi korban proyek siluman tahun 2018 senilai Rp.31 M untuk pembangunan jalan ruas Rambatu – Manusa sepanjang 24 kilometer. Hingga kini proyek tak kunjung selesai. Proyek tersebut bermasalah dan sekarang telah diproses hukum. Semoga semua yang terlibat akan mendapatkan ganjaran setimpal.
Untuk itu, kami berharap pemerintah daerah lebih bijak menanggapi jeritan hati rakyat. Jangan membangun tembok penderitaan diatas kegelisahan kami lagi. Sudah cukup perlakuan tidak adil selama ini. Kami ingin melihat pembanguan ruas jalan Kairatu-Honitetu sepanjang 24,70 kilometer itu rampung.
Kehilangan anggaran sebanyak Rp.16 M, memang menimbulkan perspektif liar bahwa ada indikasi terjadinya kecurangan pada proyek tersebut. Fakta lapangan menunjukan ketidakseriusan pemerintah membuka keterisolasian diwilayah ini. Apa yang dialami oleh masyarakat Inamosol adalah bentuk pembohongan publik.
Meski mengecewakan, masyarakat masih berniat untuk menantikan kelanjutan pekerjaan pembangunan ruas jalan Kairatu-Honitetu dalam tahun berjalan di 2022 ini. Sebagai anak kandung Inamosol, saya ingin menuntut kepastian serta ketegasan dari Pemerintah Daerah Provinsi Maluku, Dinas PUPR, dan DPRD untuk tidak tutup mata terhadap kebutuhan rakyat di Inamosol. Sebab Inamosol adalah bagian dari Maluku yang menginginkan kemajuan. Tolong jangan pangkas jatah pembangunan di wilayah kami.(*)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi