Fahri Sebut Putusan PN Jakpus Ultra Vires, Potensial Ciptakan Kekacauan Ketatanegaraan

potretmaluku.id – Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait penundaan Pemilu itu diluar kewenangan.
Menurut Fahri, putusan untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak dan kembali melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari itu bercorak ultra vires atau diluar kuasa dan potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
“Putusan PN Jakpus itu berawal dari gugatan Partai Prima dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu konsekwensi yuridisnya null and void atau batal demi hukum, sehingga tidak dapat di eksekusi,” ujar Fahri saat dikonfirmasi potretmaluku.id melalui, Selasa (14/3/2023).
Kata dia, hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, yang mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi 2 (dua) jenis yaitu Pelanggaran dan Sengketa.
Fahri menjelaskan, pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana. Sedangkan untuk sengketa terbagi menjadi 2 (dua) yaitu sengketa proses dan sengketa hasil.
“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan, baik berupa “dispute” atau sengketa maupun pelanggaran lain,” katanya.
Secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilu kepada Bawaslu, PTUN, PN, MA dan MK serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Fahri menyebut penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN, sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) sengketa proses Pemilu melalui PTUN meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu, antara calon anggota DPR, DPD, DPRD atau Parpol calon peserta pemilu, atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/Kota.
Ketentuan ayat (2) mengatur sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara a. KPU dan Parpol calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
“Jadi karakter perkara yang diputus PN Jakpus itu masuk pada ranah perkara sengketa, yang merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus. Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai “never existed” atau tidak pernah ada oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” tambahnya.
Fahri menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekwensinya sangat serius, dan berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan. Dimana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga negara lainya, seperti DPR, DPD, MPR.
Lembaga-lembaga tersebut akan kehilangan legitimasinya, sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional. Misalnya, presiden RI akan berahir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate.
“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” papar Fahri.
Idelanya, lanjut Fahri, putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa Perdata oleh PN tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan, sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter “contentiosa”.
Artinya, putusan PMH itu tidak bersifat “ergo omnes” yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenagan publik.
“Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik,” pungkasnya. (HAS)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi