Elegi Labuha; Kota Tua yang menangisi banjir

Oleh: Pdt. Fridolin R. Kwalomine (Pendeta GPM dan Pemerhati Sosial)
Labuha… oh Labuha…
Kota ini memiliki sejarah panjang yang tak lepas dari masa kolonial. Benteng Bernaveld warisan bangsa Portugis adalah salah satu saksi bisu “Laboeha tempo doeloe” sejak tahun 1558. Labuha terus berkembang dari masa ke masa. Ada cerita, jejak-jejak drainase yang dibangun pada masa kolonial Belanda adalah yang terbaik. Maklum, Labuha adalah kota yang berdiri di atas delta yang rapuh kontur tanahnya.
Doeloe, Labuha masih bebas genangan karena drainase kolonial itu. Lambat laun, drainase itu kian terkubur dan Labuha menjadi kota yang sering mandi banjir, besar atau kecil hujannya. Terlepas dari benar adanya cerita itu, faktanya Labuha kini sering dilanda banjir. Apa akibatnya? Ya… drainase yang buruk dan makin terbatasnya ruang resapan air akibat kebodohan manusia-manusia tolol yang hobinya menebang pohon dan membangun tanpa memperhitungkan dampak buruk akibat rusaknya lingkungan hidup.
Kemarin, Labuha banjir. Air naik sampai paha orang dewasa. Di beberapa titik, air mengalir deras dengan arus yang kuat seperti sungai. Hingga kini, air itupun belum juga surut meskipun hujan tak lagi turun. Bahkan beberapa waktu lalu, Labuha mengalami banjir meskipun tak hujan. Kenapa? Karena sungai Anggoi meluap akibat banjir kiriman dari hulu sungai. Mirip sungai Ciliwung, hujan di Bogor, banjir di Jakarta.
Ironinya, Kepala Desa Labuha yang abai terhadap lingkungan hidup mengakui bahwa ia tidak tahu kalau penebangan hutan bakau bisa berakibat banjir. Aneh bin ajaib memang.
Minggu pagi (20 Juni) Masyarakat Labuha dibangunkan oleh banjir sepaha. Jalan-jalan tergenang. Rumah-rumah warga diterabas oleh air yang meluap. Air itu masuk semua rumah tanpa pandang bulu, tanpa status sosial. Kecuali rumah yang tinggi. Selain rumah-rumah warga, ada pula sekolah, masjid, pertokoan dan fasilitas publik lainnya pun mengalami nasib serupa.
Lalu apa respons pemerintah? Seperti biasa. Beras, mie instan, minuman kemasan dan lain-lain menjadi pemandangan umum pada penanganan darurat. Seperti itu? Ya… seperti itu. Belum berubah. Pemerintah ternyata masih keliru melihat kebutuhan masyarakat. Banjir berulang kali terjadi, tapi drainase tak kunjung diperbaiki. Tiga hari lalu Pemda Halsel melakukan Musrenbang. Apakah penanganan banjir Labuha masuk dalam skema Musrenbang?
Pembangunan di Halsel belum terencana, masih parsial, ikut selera pemimpin. Si A jadi, itu yang dibangun. Selanjutnya si B yang memerintah, lain lagi yang dibangun. Tidak terintegrasi. Tidak berkesinambungan. Banyak proyek mercusuar tapi melum menjawab kebutuhan masyarakat. Taman dan tugu dibangun, tapi tutup mata terhadap drainase yang buruk. Lalu? Siapa yang harus mengerjakannya? Jangan saling lempar salah. Pikirkan manajemen risiko. Jangan biarkan masalah drainase yang buruk berlarut-larut.
Masyarakat tidak butuh bantuan beras, mie instan dan lain-lain. Yang masyarakat butuhkan adalah tidur nyenyak dan terbangun di pagi hari walau hujan turun semalam.(*)
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi