Pendapat

Dr Sitti Suryani, Penulis Buku Ragam Hias Budaya Makassar

PENDAPAT

Ada pula motif badik, aksara lontarak, rumah adat balla lompoa, motif nenas di jendela, dan timba sila. Juga motif sulapa appa. Ragam hias budaya Makassar ini, kata Bu Suryani, sapaan akrabnya, bisa dijumpai pada situs-situs bersejarah, antara lain di Masjid Tua Katangka dan kompleks makam raja-raja Gowa.

Ketika ditanya, mengapa ragam hias Makassar kurang mendapat perhatian dibanding misalnya ragam hias Toraja? Suryani menjawab, karena budaya daerah Makassar berbeda dengan budaya Toraja.

Ragam hias Toraja itu terkait pula untuk kebutuhan religi, sementara ragam hias Makassar hanya berdasarkan kebutuhan sehari-hari. Walai diakui, ragam hias Makassar kini sudah mulai diperkenalkan dalam bentuk batik aksara Lontarak, tapi tetap lebih pada fungsi estetik.

Diakui, ada beberapa kendala dan tantangan dalam mengembangkan ragam hias Makassar. Antara lain, kendala dalam managemen waktu untuk mengembangkan motif, alat dan bahan terbatas bahkan ada yang sudah tidak tersedia, serta referensi yang juga masih terbatas.

Selain itu, tantangan kurangnya daya tarik, karena tidak difungsikan sebagi bentuk keindahan dan kebudayaan religi. Contohnya, fungsi gentong, masyarakat sudah beralih ke yang modern. Belum lagi, masyarakat cenderung lebih tertarik pada produk luar.

Tentu kondisi ini disayangkan. Karena, menurutnya, ragam hias Makassar penting diajarkan di sekolah. Hal itu supaya siswa mengenal dan tahu motif lokal ragam hias Makassar dan mencintai budaya kita.

Pengenalan budaya Makassar, lewat ragam hias ini penting diperkenalkan sejak anak-anak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Misalnya, melalui kegiatan mewarnai gambar ragam hias Makassar.

Sedangkan untuk anak-anak SD, mereka diajak untuk menggambar dan mewarnai ragam hias Makassar, lalu untuk tingkat SMP dan SMA bisa dengan kegiatan menggambar dan menerapkan gambar tersebut pada bahan tekstil dan kayu.

“Kalau untuk model pembelajarannya, dilakukan secara berdeferensiasi dengan mengelompokkan siswa yang bisa menggambar, siswa yang kurang bisa dan yang belum bisa menggambar,” kata guru yang sudah mengabdi di SMP Negeri 3 Pattallasang selama 12 tahun itu.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Previous page 1 2 3Next page

Berita Serupa

Back to top button