Agama di Era AI: Antara Identitas Kelompok dan Etika Publik
Menyambut Workshop Esoterika Fellowship, Diikuti 9 Kampus, April 2025

Oleh: Denny JA*
Pada suatu sore yang muram di Ambon, seorang remaja bernama Adrianus duduk termenung di atas batu karang pesisir Amahusu. Laut tampak tenang, namun hatinya tidak.
Di tangannya, ia menggenggam salib kecil warisan neneknya yang wafat saat kerusuhan 1999 memisahkan Ambon menjadi dua kubu besar: Muslim dan Kristen.
Adrianus tak ingin hidup dalam bayang-bayang konflik yang tak ia pahami. Ia tumbuh dalam era baru. Ia sekolah di kampus pluralis, berteman akrab dengan Rifqi, seorang santri muda yang hafal Al-Qur’an dan juga penggemar sastra Rusia.
Mereka tak lagi bicara soal “kami” dan “mereka”, tapi soal masa depan yang bisa dirajut bersama.
Suatu hari, Rifqi menunjukkan padanya sebuah percakapan dengan ChatGPT. Ia bertanya: “Apakah aku harus membenci penganut agama lain demi keimanan?”
AI itu menjawab lembut: “Tidak. Spiritualitas adalah jembatan, bukan pagar. Etika publik menuntunmu mencintai sesama manusia, bukan menyingkirkannya.”
Adrianus tertegun. Di luar kebisingan ideologi, di luar khutbah-khutbah yang kadang menyisakan luka, sebuah mesin justru membawa kedamaian ke ruang batinnya.
***
Kisah Adrianus dan Rifqi bukan sekadar potret persahabatan. Ia simbol dari zaman yang sedang berubah. Zaman ketika agama tak lagi hanya suara mimbar, tapi juga bisikan batin yang dibantu dipahami oleh kecerdasan buatan.
Di zaman ini, pertanyaan besar muncul: Mengapa di negara-negara yang sangat religius, justru korupsi lebih merajalela?
Data dari Gallup Poll dan Transparency International menunjukkan paradoks yang mencolok.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi