
PAGI itu, matahari belum tinggi ketika Pak Iwan (bukan nama sebenarnya) mendayung perahunya ke dermaga kecil di pesisir Nusaniwe. Udara masih dingin, dan embun belum benar-benar hilang dari permukaan laut.
Tapi lelaki berusia 47 tahun itu sudah bersiap. Seperti hari-hari sebelumnya, ia kembali berlayar—bukan hanya demi tangkapan ikan, tapi juga demi sebotol bensin yang menjadi sumber hidup keluarganya.
“Kadang-kadang, saya lebih jauh ke Tulehu daripada melaut,” katanya sambil menghela napas panjang. “Kalau BBM habis, saya bisa habiskan setengah hari hanya untuk cari isi jeriken.”
Cerita Pak Iwan bukan kisah tunggal. Ratusan nelayan di jazirah Nusaniwe dan Leitimur mengalami hal serupa. Mereka harus menyeberangi lautan atau menempuh jalan darat yang berliku dan mahal untuk membeli bahan bakar.
Dalam skema besar ekonomi nasional, mungkin ini hanya persoalan distribusi BBM. Tapi bagi nelayan kecil, ini adalah garis tipis antara bisa makan hari ini atau tidak.
Ketika Harapan Datang Lewat Kunjungan Seorang Menteri
Pada Sabtu, 5 April 2025, denyut harapan itu menyala kembali. Kota Ambon kedatangan tamu penting: Menteri Investasi dan Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, dalam kapasitasnya sebagai Plt Menteri ESDM.
Kunjungannya membawa angin segar, bukan hanya untuk dunia usaha dan pemerintahan, tapi juga untuk mereka yang selama ini hidup di pinggir—secara geografis maupun ekonomi.
Bersama Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, Menteri Bahlil mengunjungi kantor PLN di jalan Sultan Hairun dan kemudian bertolak ke Pertamina Patra Niaga di Wayame. Suasana pertemuan yang hangat dan penuh kekeluargaan menjadi wadah diskusi yang jauh dari formalitas belaka. Di sanalah, suara-suara kecil seperti Pak Iwan mulai bergema.
“Pak Menteri sangat perhatian. Beliau bertanya langsung, apa kebutuhan masyarakat Maluku, khususnya Ambon,” ujar Wali Kota kepada pers. “Saya sampaikan bahwa SPBU umum kita sudah mencukupi, tapi kami butuh SPBU nelayan di Nusaniwe dan Leitimur.”
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi