Oleh: Abd. Latifestaluhu S. Hut., S.H., M.H., Praktisi Hukum (Advokat) Pendiri Kantor Advokat dan Konsutan Hukum Lestaluhu & Associates.
Menanggapi pemberitaan salah satu media, yang menyatakan bahwa terdapat pelanggaran hukum terkait pengadaan mobil dinas Gubernur Maluku senilai Rp 7,8 milyar, menurut kami selaku praktisi hukum (advokat dan konsultan hukum), yang seringkali menangani perkara korupsi dapat kami tanggapi sebagai berikut :
1. Terlalu dini jika harus menyatakanbahwa proses pengadaan mobil Dinas Gubernur dan Wakil Gubernur itu terdapat pelanggaran, mengingat kewenangan untuk menyatakan suatu proses pengadaan barang dan jasa pemerintah itu melanggar hukum adalah kewenangan dari BPK dan BPKP, berdasarkan Pasal 10 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Pasal 3 Perpres No. 192 Tahun 2014 tentang BPKP, sehingga jika ada pihak-pihak yang berspekulasi terkait adanya pelanggaran hukum, maka hal tersebut terlalu prematur, mengingat BPK ataupun BPKP saja belum melakukan audit terkait dengan objek yang diberitakan tersebut.
2. Jika ada pihak-pihak yang mendesak agar pihak Kepolisian, Jaksa ataupun KPK harus memeriksa Gubernur Maluku Murad Ismail, menurut kami juga sangat dini, mengingat untuk dilakukannya suatu proses penyelidikan haruslah ada bukti permulaan tindak pidana.
Untuk menentukan seseorang terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi maka penyidik akan menilai peran yang bersangkutan sebagaimana amanat Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi apakah ada usaha memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara ataukah ada upaya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah Gubernur Maluku Murad Ismail terlibat langsung dalam proses pengadaan barang dan jasa tersebut ? Mengingat apakah Murad Ismail adalah Panitia Pengadaan? Pejabat Pembuat Komitmen? Kuasa
Pengguna Anggaran? Pengguna Anggaran? atau apa?
Kita jangan membangun opini untuk menyudutkan pribadi seseorang, karena akan terkesan sangat tidak objektif dan akan berujung pada terjadinya pembunuhan karakter (character assassination).
Menurut penilaian kami beliau tidak terlibat, dan jika memang permasalahan ini akan bergulir pada ranah hukum maka kami meyakini beliau bukanlah pelaku tindak pidana dimaksud.
3. Terkait poin pemberitaan yang menyatakan bahwa Gubernur Maluku Murad Ismail akan menerima 3 (tiga) unit mobil Dinas, sedangkan Wakil Gubernur Barnabas Orno hanya menerima 1 (satu) unit mobil Dinas, hal ini juga terkesan tendensius karena apakah sudah dilakukan cross chek di lapangan bahwa 3 (tiga) mobil itu memang akan dipakai oleh Gubernur Murad Ismail ataukah ada peruntukan untuk Ketua DPRD dan pejabat lainnya? Ini harus clear dulu jangan membangun opini di depan karena hanya akan memunculkan fitnah. Perlu dicek lagi terkait perencanaan dan penggunaan mobil dinas itu seperti apa?
Bukan hanya itu, pada poin ini seharusnya tidak perlu menyebutkan nama pribadi Gubernur dan Wakil Gubernur mengingat kapasitas untukmenerima dan menggunakan mobil tersebut adalah karena jabatan dan bukan pribadi.
Mengingat jabatan itu terbatas oleh waktu, jika telah selesai masa jabatannya maka mobil dinas tersebut akan kembali kepada negara dan bukan menjadi milik pribadi. Dengan adanya penyebutan nama maka opini yang terbentuk adalah mobil tersebut akan menjadi
mobil milik pribadi.
Bahwa sebagai praktisi hukum Saya harus memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa untuk menilai suatu peristiwa pidana, kita harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), artinya sedapat mungkin kita harusmenghindari membentuk opini yang menyudutkan piihak-pihak tertentu mengingat jika opini di masyarakat sudah terlanjur terbentuk maka kehormatan seseorang sulit untuk dipulihkan kembali, sehingga kita harus bijak menilai dan menyampaikan informasi.
Seringkali media yang menyebarluaskan informasi berlindung di balik Pasal 1 angka 11 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang memberi ruang hak jawab bagi subjek pemberitaan jika tidak puas
dengan pemberitaan yang disampaikan.
Sayangnya hak jawab tersebut tidaklah dapat menganulir opini yang telah terlanjur terbentuk. Seharusnya media juga mengacu pada Pasal 5 UU Pers yang mengamanatkan agar pers wajib memberikan pemberitaan dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi