Tak cukup satu jam kami di situ, konsep dan nama komunitas Makkareso berhasil dirumuskan di atas selembar kertas, sambil menikmati kopi susu buatan Rusdy Embas, pengelola Kafe Baca. Pak Syahriar hari itu juga mengajak kami ke rumahnya, yang hanya berseberangan jalan dengan Kafe Baca.
Begitu tiba di rumahnya, Pak Syahriar mengajak kami masuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Foto-foto dirinya dengan artis ternama dipajang dalam ukuran besar. Ada Luna Maya, Mathias Muchus dan lain-lain, termasuk foto-fotonya di luar negeri.
Ada rak-rak buku dengan koleksi buku dalam beragam genre. Ada pula partisi bekas kegiatan festival cerita rakyat yang jadi semacam dekorasi ruangan, tapi informatif. Di lantai bawah ini, ada fasilitas 2 kamar mandi yang masing-masing dilengkapi bathtub.
Setelah melihat-lihat, kami gerak cepat membenahi segala hal yang diperlukan. Saya meminta tolong Nasrul, mendesain logo Makkareso, dan membuat spanduk besar yang akan dipasang di depan sebagai papan bicara. Ruangan juga dicat dan ditambahkan instalasi listrik untuk keperluan colokan para pengunjung nantinya.
Pak Syahriar memesan meja kursi untuk kafe. Saya membawa satu set meja dari rumah, juga perlengakapan dapur untuk kafe. Beruntung selama membenahi ruangan, tersedia Coca-Cola, kacang, dan kue kering, stok lebarannya tuan rumah hehehe.
Dalam konsep yang kami buat, komunitas ini memang juga akan mengelola kafe. Modal awalnya diberikan oleh Pak Syahriar, pengelolanya Romo. Ada perpustakaan dan taman baca, kegiatan diskusi (buku, film, media, fesyen, teater, dll), ada learning center untuk anak-anak. Kelas Kursus/workshop (public speaking, mode, menyanyi, film/teater, pertelevisian/radio, menulis kreatif). Ada ruang pertunjukkan (pentas musik, pemutaran film pendek/indi, dll), ruangan pameran, tempat penjualan kerajinan/produk kreatif, penerbitan.
Konsep kafe yang punya fasilitas hotspot/Wifi ini, meubelernya dari barang bekas (bekas peti, kaleng cat dan drum minyak), interior berisi lukisan teman-teman para pelukis, cover buku penulis/penerbit lokal, poster film yang menampilkan artis daerah Sulawesi Selatan, kerajinan tradisional, dan kata-kata bijak pappasang/paseng.
Menu yang disediakan merupakan penganan tradisional Bugis/Makassar. Juga ada tanaman hijau untuk mendukung program gerakan Makassar Ta’ Tidak Rantasa (MTR). Dibuat pula rencana launching Makkareso, yakni tanggal 23 Juli 2016.
Itulah konsep awalnya. Tidak semua rencana di Makkareso itu terlaksana. Namun dari situ saya terhubung dengan banyak teman baru: perupa, pemain teater, sastrawan, dan pekerja seni lainnya. Dari sedikit kegiatan Makkareso yang terlaksana, saya menganggap penting untuk berbagi cerita ini. Karena ini juga bagian dari remah-remah sejarah aktivitas sastra dan mungkin juga kesenian di Sulawesi Selatan.
Makkareso itu komunitas dengan hanya beberapa orang. Dr Syahriar Tato, Saya, Romo, Nasrul, Maysir Yulanwar, Idwar Anwar, M Amir Jaya, Abdul Hakim Hazbul, dan Daeng Mangeppe. Menyusul nanti ada Yudhistira Sukatanya dan Anil Hukma yang diajak berkolaborasi untuk beberapa kegiatan.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi