Oleh: Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA (Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura)
Tak lain adalah George Herbert, seorang penyair, orator, dan imam Gereja berkebangsaan Inggris, kelahiran Montgomery, Inggris pada 3 April 1593 lampau. Puisi-puisinya sering dikaitkan dengan tulisan-tulisan para penyair metafisik, dan ia diakui sebagai “salah satu penulis lirik kebaktian Inggris terkemuka.”. Pada sutau kesempatan dia pernah mengatakan bahwa, “seorang ayah lebih baik dari seratus kepala sekolah”.
Makna filosifis dari ungkapan penyair England itu, tidak bisa secara leterlek kita baca lantas menyimpulkan begitu saja. Namun arti sebenarnya bahwa, ayah adalah aktor utama pada keluarga disamping ibu, yang memberikan pendidikan awal (early education) di rumah, tentang disiplin, dan moralitas yang selanjutkan dijabarakan pada aspek-aspek lainnya. Dimana aspek-aspek itu, yang turut membentuk jati diri anak dari sekarang hingga dikemudian hari.
Para kepala sekolah bersama para guru di sekolah, hanya melanjutkan warisan early education yang dilakukan ayah di rumah, melalui disiplin dan moralitas beserta aspek-aspek determinen lainnya, maupun ilmu pengetahuan (science).
Hal ini, menambah bobot kualitas para anak, yang mampu memahami pendidikan yang mereka jalani. Sehingga akan menjadi best generation (generasi terbaik) dikemudian hari, sebagaimana ekspetasi ayah disamping juga ekspetasi ibu.
*
Diluar pentingnya peran ayah, sebagaimana ungkapan sastrawan dari negerinya Robin Hood itu, disini di Kota Ambon manise ini, jika kita para pria berumahtangga yang pergi berbelanja di Pasar Mardika, saat kita menanyakan harga barang yang dijajakan, maka para penjualnya entah itu laki-laki atau perempuan, akan memanggil kita dengan sapaan “ayah”.
Tidak saja anak negeri, tapi juga anak negeri yang berasal dari Bugis, Buton dan Makassar yang mendominasi Pasar Mardika, rata-rata memanggil kita dengan sapaan “ayah”.
Entah sejak kapan, lantaran saya tidak suka dipanggil dengan sapaan “ayah” adakalanya saya balik memanggil para pedagang dengan sedikit mengerjain mereka, baik itu pria atau wanita dengan sebutan sebaliknya “ia ayah”, “ia ibu”.
Panggilan ayah familiar dalam sintron ‘Tukang Bubur Naik Haji/TBNH’, yang sering tayang di RCTI di tahun 2017 lalu, dimana Eddy Oglek yang memerankan figur Kardun pria hidung belang tukang kawin banyak, sering memanggil bapak mantunya yang diperankan Anuar Fuady dengan sebutan ayah.
Kadang saat Kardun dimarahi bapak mantunya lantaran membohongi istrinya, maka dengan gaya minta dikasihani dia menyebut “ia ayah”, lantas bapak mantunya akan balik memarahinya dengan menyebutnya “he tempoyak busuk”.
Bukan karena sintron TBNH yang korelasinya dengan pria hidung belang tukang poligami, tapi bagi saya tidak familiar sapaan itu. Rupanya panggilan “abang”, “bu” tidak berlaku lagi.
Penetrasi sapaan “ayah” begitu kuat. Sehingga para pria berumatanggah yang berbelanjah di Pasar Mardika pun semuanya dipanggil “ayah”.
Sesuatu yang tidak familiar, tapi itulah trend bahasa pasar. Tatkala kita semua dipanggil ayah, yang tidak bisa kita tolak lantas mengklarifikasinya dihadapan para pedagang itu. Kita hanya bisa mengkritik dalam diam.
Hal ini sebagaimana ungkapan Sir Arthur Helps, yang populer dengan sapaan Arthur Helps, seorang penulis berkebangsaan Inggris, kelahiran Streatham, London, Inggris pada 10 Juli 1813 bahwa, “ada kritik diam tentang keheningan, yang sepadan dengan yang lainnya”.(*)
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi