Tinggal beberapa jam lagi, Bulan Ramadan akan segera berlalu. Tradisi-tradisi unik seperti berburu takjil yang sempat viral dan berbuka puasa bersama, tentu akan mundur sejenak dan kembali menampakan rupanya satu tahun kemudian.
Beberapa sahabat dan kerabat terpantau telah melakukan perjalanan mudik, untuk menggemakan Taqbir bersama keluarga menyambut datangnya 1 Syawal. Takjil, Berbuka bersama dan Mudik adalah tradisi Islam Indonesia yang unik.
Tiga hal ini bersifat materialisme. Takjil, Berbuka dan Mudik diproduksi oleh Budaya dan agama adalah kebudayaan itu sendiri. Sebagai Budaya, Agama turut berkontribusi bagi perubahan dalam masyarakat.
Max Weber (1864-1920) mengatakan bahwa ada kaitan erat antara pola kepercayaan dengan kegiatan sosial, dan pola kepercayaan dengan kegiatan perdagangan. Kegiatan sosial termasuk perdagangan itu, mempunyai hubungan timbal balik dengan kepercayaan yang dianut oleh orang Kristen Protestan.
Weber berpendapat bahwa perubahan sosial itu dipicu oleh agama. Menurut Weber, dalam agama khususnya Kristen Protestan ada faktor pendorong yang kuat untuk kemajuan dunia perdagangan dan faktor itulah yang secara implisit dimakudkan dengan “Spiritual Capital”.
Aneka ragam takjil yang dijejal pada etalase, tenda dan tempat jual beli adalah produk “intellectual capital”. Tidak hanya untuk meraup keuntungan Rupiah tetapi juga menjawab keinginan dan/atau kebutuhan umat yang hendak berbuka setelah seharian menahan lapar dan dahaga.
Bagi para penjual takjil, kepuasan mereka bukan karena produk mereka habis terjual tetapi tanggung jawab untuk melayani kebutuhan orang lain.
Demikian pula bagi para pemburu takjil, kepuasan mereka tidak terletak pada nikmatnya mencicipi takjil yang empuk, manis dan renyah tetapi berkumpul bersama keluarga, sahabat dan kerabat sambil memanjatkan doa saya syukur atas kemampuan mengendalikan diri dari emosi dan kebutuhan duniawi secara seharian.
Mudik. Menurut seorang Antropolog UGM, Prof. H. S. Ahimsa Putra, mudik berasal dari bahasa melayu ‘udik’ yang artinya hulu atau ujung. Sebab, masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai pada masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk.
Setelah selesai urusannya, mereka kembali pulang ke hulu pada sore harinya. Udik, dalam bahasa Melayu, konteksnya pergi ke muara dan kemudian pulang kampung. Saat orang mulai merantau karena ada pertumbuhan di kota, maka kata mudik mulai dikenal dan dipertahankan hingga sekarang saat mereka kembali ke kampungnya.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi