Pendapat

Ditembak Pakai Senapan, Masuk Rubrik “Jumpandang Sehari-hari”

PENDAPAT

Oleh: Rusdin Tompo (Penulis dan Pegiat Literasi)


Suatu hari menjelang subuh di tahun 1993, kami dikagetkan bunyi gemuruh dari atap seng rumah kami di kampung Kassi-Kassi. Atap rumah yang sementara dibangun itu seperti dihambur ratusan kerikil. Belum selesai kekagetan kami, terdengar bunyi tembakan yang memecah keheningan subuh itu.

Posisi rumah kami, berada di seberang Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Makassar. Walau tulisan resminya pada papan nama kantor disingkat P & K, tapi warga biasa menyebutnya kantor PK, jika akan naik atau turun dari angkutan pete-pete.

Rumah kami juga jaraknya tidak jauh dari Monumen Emmy Saelan, mungkin hanya sekira 30an meter. Emmy Saelan merupakan pejuang dan Pahlawan Nasional yang gugur secara heroik dalam suatu pertempuran melawan Belanda di kampung Kassi-Kassi.

Ketika kami tinggal di Kassi-Kassi, sampai dengan tahun 2002, ujung Jalan Letjend Hertasning belum terhubung dengan Jalan Aroepala. Di situ masih banyak rumah-rumah warga, juga ada pekuburan keluarga kami. Kassi-Kassi di masa itu merupakan bagian dari Kelurahan Rappocini. Kini sudah berdiri sebagai kelurahan tersendiri.

Kembali ke cerita awal dalam tulisan ini. Suara ribut-ribut pagi itu membuat kami kelabakan. Saya dan kakak, Ruslan Tompo, saling bertanya, suara apa itu? Apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya? Ibu saya, Ke’na Daeng Bollo, tak kalah paniknya.

Dalam situasi kalut itu, saya berusaha mengintip dari lubang seng yang digunakan menutup jendela. Rumah kami ini, berupa rumah tumbuh. Pintunya sudah terpasang, tapi kosen jendelanya hanya ditutup dengan seng bekas.

Setengah dari rumah kami itu merupakan bangunan 2 lantai. Namun, hanya bagian bawahnya yang terbuat dari semen, sedangkan atasnya terbuat dari papan.

Bisa dibayangkan betapa ributnya, subuh itu. Rumah dengan atap seng dihujani puluhan atau mungkin ratusan kerikil. Suara gemuruh yang ditimbulkan membuat bulu kuduk saya berdiri.

Setelah bunyi mereda, saya kembali mengintip. Tampak di kejauhan ada sesosok lelaki bertubuh tinggi besar. Terlihat dia memegang senapan angin. Namun wajah lelaki itu belum bisa saya kenali. Maklum, hari masih gelap.

Saya kembali mencoba mengintip. Kali ini dengan membuka sedikit daun pintu, agar pandangan saya jelas mengenali orang itu.

Namun, baru saja pintu saya buka dengan sangat pelan, seketika terdengar letusan: dorr dorr dorr!

Secara refleks tangan kiri saya mengentakkan pintu untuk menutupnya kembali. Sedangkan tangan kanan saya memegang leher.

Terasa bagian leher saya hangat. Sementara bagian ujung lidah bagai mengulum besi. Teringat sewaktu kanak-kanak, saya pernah menaruh uang logam di lidah. Nah, seperti itulah rasanya.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button