PEREMPUAN itu baru saja menempuh perjalanan darat. Sepanjang perjalanan tadi, angin cukup kencang menerpa dirinya, yang dibonceng sepeda motor di malam hari. Tidak ada lampu penerang di sepanjang jalan yang dilalui. Satu-satunya penerang hanyalah lampu sepeda motor yang ditumpangi. Jalan berbatu yang dilewati, tentu membuat badannya terasa sakit.
Wajahnya nampak letih. Dengan penampilan kucel dan dekil, kadang membuat orang tidak percaya perempuan ini berkeliling Maluku seorang diri, dan berbagi kasih dengan mereka yang disabilitas dan termarjinalkan.
Keletihannya biasanya langsung menguap, begitu dia tiba di suatu dusun atau desa, dan menjumpai anak-anak berkebutuhan khusus. Atau anak-anak disabilitas dengan varian kebutuhan khusus, mulai dari tuna netra, tuna rungu, tuna daksa hingga tuna ganda.
Bagai baterai yang baru dicharge full, dia biasanya langsung bersemangat. Seperti malam itu. ketika dia tiba di Dusun Watrupun, Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku.
Sambil duduk bersila di lantai, perempuan itu lantas memperkenalkan dirinya, “Selamat malam, syalom. Perkenalkan nama beta Dwi Prihandini, biasanya dipanggil Dini. Beta yakin bapak ibu pasti bingung, beta ini siapa dan mau apa.”
Ya, itulah Dini, perempuan berdarah Madura, kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 9 September 1973, yang mendedikasikan sebagian waktunya untuk kaum disabilitas di Maluku. Dia dikenal juga sebagai pekerja kemanusiaan di daerah kepulauan in.
Setiap mendatangi satu tempat baru, Dini merasa perlu menjelaskan siapa dirinya, karena sering tidak dipercaya dengan penampilannya yang dia sebut terkadang kucel dan dekil.
“Beta bukan anggota partai. Beta juga tidak tertarik dengan politik. Semua pelayanan beta di Maluku, menggunakan uang beta pribadi,” ujar Dini di setiap mengawali perkenalan dirinya. Dia merasa terpaksa harus menyebut seperti, menginat dirinya sering dijatuhkan dan direndahkan oleh oknum-oknum tertentu, karena aktivitasnya di Maluku.
Hingga kini, perempuan lulusan strata 2 psikologi Universitas Indonesia ini, sudah mendatangi seluruh (11) kabupaten dan kota di Provinsi Maluku, dan melakukan pelayanan kemanusiaan.
JATUH CINTA PADA MALUKU
Semua yang dilakukan Dini, tak lepas dari peran kekasih hatinya, Clerry Cleffy. “Kamu akan bahagia di Maluku, Din.” Ucapan Clerry, almarhum suaminya, yang mengenalkannya kepada Maluku, memang membuat Dini jadi cinta setengah mati pada negeri kepulauan ini.
Pelayanannya pada Maluku, menurut Dini, dimulai pada akhir 2015, melalui perjalanan ke Pulau Saparua di Kabupaten Maluku Tengah. Sejak awal dia memang mengkhususkan diri untuk melayani kaum disabilitas. Karena itu, di negeri tempat berjuangnya Kapitan Pattimura ini, Dini memberikan pelayanan kepada seorang anak penyandang disabilitas bernama Ane Latuperissa. Ane lantas dijadikan anak asuhnya.
Setelah melakukan pelayanan selama setahun seorang diri, Dini kemudian melahirkan lembaga yang diberi nama Clerry Cleffy Institute (CCI), pada 27 Januari 2016 di Ambon. CCI yang lahir dari mimpi Dini dan almarhum suami, Clerry Cleffy Mailuhu, bergerak di bidang psikologi dan kemanusiaan. Tujuannya untuk pengembangan diri masyarakat di Maluku, khususnya anak-anak, remaja dan perempuan.
Dini sengaja mengabadikan nama almarhum suaminya, yang meninggal beberapa tahun setelah pernikahan mereka, sebagai bukti cinta mendalamnya kepada Clerry. Kecintaan itu pula yang melahirkan empati Dini begitu kuat, untuk melakukan misi kemanusiaan membantu kaum disabilitas dan perempuan marjinal di pelosok Maluku. Mereka ini disebutnya, selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah atau pihak manapun.
UANG PRIBADI
“Tapi CCI tidak memiliki rekening atau membuka donasi, tetapi menggunakan dana pribadi saya untuk melakukan pelayanan, sebagai bukti kasih dan sayang untuk Maluku,” tegas Dini.
Tahun ini merupakan tahun ke-7 Dini di Maluku. Dan tahun ke-6 bersama CCI di Maluku. Dalam pelayanan selama di Maluku ini, Dini menegaskan semuanya menggunakan uang pribadinya.
“Jadi selama 6 tahun CCI, yang telah dilakukan antara lain adalah pelayanan kemanusiaan di 11 kabupaten di Provinsi Maluku dengan total dana yang sudah digunakan sebanyak Rp.4,5 Miliar,” ungkap penyuka olahraga petualangan ini, saat berbincang dengan potretmaluku.id dan beberapa jurnalis di Ambon, Sabtu lalu (12/2/2022).
Dari dana itu, kata Dini, antara lain untuk pelayanan bagi 487 orang disabilitas, alat bantu jalan kursi roda sebanyak 84 buah, alat bantu jalan tongkat sebanyak 30 buah, bantuan modal usaha bagi 99 orang disabilitas, modal usaha bagi 36 perempuan marginal.
Ada juga santunan bagi 435 orang disabilitas dengan kondisi marjinal dengan besaran Rp.100.000 sampai dengan Rp. 500.000, santunan kematian pada 29 keluarga terdampak gempa masing-masing Rp1.000.000, dan dukungan untuk anak-anak Maluku dengan kondisi marjinal antara lain 142 sepeda kemudian 26 HP, yang digunakan untuk keperluan daring.
“Karena anak-anak ini tidak ada komunikasi untuk daring online. Termasuk 151 beasiswa pendidikan yang saya berikan,” tuturnya.
Menurut Dini, karena ini keliling Maluku, maka biaya perjalanan sangat besar. Sebab sebagaimana diketahui biaya sewa speedboat, biaya ke pulau-pulau pelosok itu juga, kata dia tidak sedikit.
“Apalagi saya mengunjungi mereka saya harus bawa beras, bawa bantuan yang mereka butuhkan karena kondisi mereka sangat marjinal. Dan itu yang membuat saya kesulitan karena harus mengangkut beras-beras itu dengan speedboat yang biaya sewanya luar biasa. Jadi itu yang membuat pengeluaran saya begitu besar,” ungkapnya.
Yang dia temui pada perjalanan keliling Maluku, kata Dini, yaitu anak-anak disabilitas. Mereka memang menjadi konsern utamanya, karena pada awalnya memang dia hanya ingin menghilangkan kedukaan saat keliling Maluku.
“Tapi justru yang saya temui anak-anak disabilitas yang tidak tersentuh. Saya pikir Maluku Itu indah tapi di balik keindahannya banyak anak-anak yang harus dirawat. Anak-anak dengan kondisi disabilitas. Itu kesimpulan saya,” ujar Dini.
Dini menyebutkan, dirinya tidak berbicara pada level Kota Ambon, karena pasti sudah sangat terjangkau. Namun dia bicara pada level anak-anak pada pulau-pulau di Maluku. Terutama soal pendidikan bagi disabilitas di daerah pelosok.
“Jangankan untuk pendidikan. Kita bicara soal kebutuhan dasar, untuk makan dan minum saja mereka menurut saya kondisinya sangat marjinal,” kata Dini.
Salah satu contoh, ketika dia datang ke salah satu desa di Kepulauan Aru, Dini naik speedboat berjam-jam ke desa itu. Dia menemui anak disabilitas itu karena membawakan kursi roda.
“Yang saya temui apa? Anak itu tergolek sendirian di papan. Saya tanya orang tuanya ke mana? Di kebun mencari hasil bumi untuk mereka jual. Jadi persoalannya adalah kita tidak bisa tutup mata untuk hal ini,” paparnya.
DWI PRIHANDINI ORANG GILA
Itu sebabnya, perempuan yang mengidolakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang dinilainya adalah sosok perempuan tangguh, ibu tunggal yang mandiri, punya sikap dalam hidup, dan gokil (gila) ini, mengaku punya sikap tegas dalam melayani Maluku.
Tidak mengherankan ketika Heygel Tengens, pelatih sepakbola pada Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Maluku, menyebutkan, hanya orang gila yang mau berbuat seperti apa yang dilakukan Dini. Mau berbagi kasih kepada orang yang membutuhkan.
“Selama beta di Ambon dan terlibat di olahraga, baru kali ini beta lihat ada orang yang mau peduli dengan sesama terutama para atlet dan pelatih seperti ini,” ujar Hagel, saat momen Hari Olahraga Nasional (Haornas) tanggal 9 September 2019 lalu, di Kota Ambon, Dini memberikan uang pembinaan kepada 46 orang atlet mendapatkan masing-masing uang pembinaan sebesar Rp.1 juta. Sedangkan 14 orang pelatih mendapatkan Rp.500.000 per orang dan 17 orang pengasuh atlet mendapat uang masing-masing Rp.250.000, di momen yang juga menjadi hari ulang tahun Dini ini.
Bagi Hagel, mencari orang dengan kepedulian seperti ini, bisa dibilang bagai mencari benang di tumpukan jerami. “Sangat sulit jumpa orang macam begini. Cinta terhadap Maluku, datang ke Maluku, berbuat baik di sini, tanpa peduli berapa besar materi yang dia keluarkan,” tutur Heygel.
Meski begitu, Dini selalu meminta dirinya jangan dipuji. “Tolong jangan dipuji, saya tidak butuh itu. Yang saya butuh, pemahaman akan persoalan kemanusiaan di Maluku. Mari melihat dari perspektif saya,” ujarnya.
Menurut ibunda dari Anugrah Putra Perdana ini, setiap kali dirinya keliling Maluku, hatinya perih dan sakit melihat disabilitas di pelosok Maluku yang sangat banyak.
“Sampai tabungan saya habis pun, tak akan bisa menjangkau mereka semua. Kalau Anda belum keliling Maluku dan belum melakukan yang saya lakukan, please Anda tidak tahu rasanya menangis diam-diam untuk Maluku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Pengalamannya keliling Maluku, disebut Dini, menguras emosi. Jangan dulu bicara pendidikan untuk disabilitas di pelosok Maluku, bicara kebutuhan dasar mereka saja saya kadang tidak sanggup.
Karenanya selain santunan atau alat bantu jalan, Dini sering bawa beras. “Bayangkan betapa rempongnya bawa beras sebanyak jumlah anak-anak disabilitas, menyewa speed yang mahalnya nggak ketulungan, dan jalan kaki dengan badan seperti remuk,” bebernya.
Itu sebabnya Dini menyebutkan, dirinya selalu melakukan latihan fisik dan olahraga karena keliling Maluku itu menguras fisik.
“Keliling Maluku itu berat. Tidak cuma dompet saya yang terkikis, tapi juga fisik. Belum lagi cuaca dan kondisi lautan yang tidak tertebak. Resikonya cukup besar. Cukup saya saja yang mengambil resiko. Relawan saya jangan. Karenanya saya tidak pernah absen latihan fisik,” tandasnya.
Jadi kalau ada yang menganggap aneh karena mau keliling Maluku dengan uang pribadi, bagi Dini dia memang aneh. Dianggap gila juga bagi dia tidak apa-apa.
“Yang penting nanti kalau saya mati terus ditanya Tuhan, ‘Kamu kemanakan berkat yang saya kasi?’ Nah saya bisa jawab, ‘Saya bagi semuanya untuk Maluku, Tuhan’,” ujar Dini, sembari meminta jangan mengaitkan dirinya dengan politik.
Ditanya tentang biaya yang paling banyak dikeluarkan di wilayah mana saja, menurut Dini, saat dirinya melakukan perjalanan ke Kepulauan Aru. “Untuk di Kepulauan Aru itu hampir Rp.400 juta. Itu belum termasuk biaya perjalanan dan sewa-sewa speedboat, yang gila mahalnya. Kita mau pergi sewa kadang Rp.5 juta sampai Rp.8 juta. Belum isi minyak, belum bayar tip-tip orang dan lain-lain,” jelasnya.
Dini menuturkan, tahun lalu dia menjadwalkan Februari dan November, selalu digunakannya untuk keliling Maluku. Walau pun di sela-sela itu juga dia akan melakukan perjalanan. Artinya Pandemi maupun tidak pandemi, Dini tetap mengikuti proses yang berlaku dan mengikuti aturan yang ada di sini.
DWI PRIHANDINI BELAJAR BUDAYA
Karena panggilan itu, kata dia, tidak bisa dihentikan. Ya karena dia sudah keliling di 11 kabupaten kota yang langsung dilihat sendiri kondisinya. Bahkan sampai di pelosok-pelosok yang orang tidak pernah datang ke sana.
“Saya lihat langsung. Dan masa saya nggak kembali lagi? Mereka pernah tanya, ibu akan datang kembali lagi nggak ke sini? Saya bilang saya usahakan datang lagi,” tuturnya.
Itu yang membuat Dini sangat berat. Karena dia merasa tidak punya siapa-siapa di Maluku. Karena dia punya keterbatasan. Dan sering mengalami juga hal-hal yang menurut dirinya, mungkin oknum salah persepsi terhadapnya. Mungkin mengira Dini ada kepentingan-kepentingan politik atau kepentingan lainnya.
Tidak jarang Dini mengalami penolakan di lapangan karena ada yang tidak percaya. Dia menjelaskan bahwa kedatangannya ke situ untuk memberikan santunan yang bisa dia berikan. Dan akhirnya mereka percaya dan memberi kesempatan bagi dirinya melayani di desa itu.
Jadi menurut Dini, begitulah kondisinya. Makanya dia bilang Maluku bukan cuma Kota Ambon. Maluku itu juga adalah pelosok.
“Saya tidak bilang sulit untuk dijangkau. Mengapa? Karena saya sudah sampai di sana. Sekarang persoalannya Anda mau atau tidak mau ke pelosok Maluku?” tandasnya.
Kalau kita cinta, kata Dini, maka kita tidak ada Ambon saja. Kita juga harus bisa melayani di pelosok-pelosok. Karena itu sangat dibutuhkan oleh mereka.
“Saya ingin menyelesaikan kisah saya dengan Clerry. Clerry sudah menyelesaikan tugasnya tinggal saya yang belum. Dan saya mau mengatakan kepada publik di kota Ambon, bahwa CCI itu saya tidak terpikirkan bagaimana sustainable. Saya tidak pernah pikirkan itu,” terangnya Dini.
Dia juga sudah sampaikan kepada seluruh relawan, kalau dirinya kelak meninggal dunia, kisah ini selesai. CCI sudah selesai dan dia berharap itu akan dikenang oleh publik atau masyarakat yang pernah dilayani. Cukup sampai di situ.
“Jadi memang berbeda dan aneh ya sudah itu apa adanya saya,” ucapnya.
Tahun ini Dini sudah memutuskan akan mempelajari budaya. Karena dia yakin budaya Maluku cukup unik dan beragam. Bagi dia, jangan tanggung-tanggung kalau mencintai.
“Saya ingin mempelajari budaya Maluku di pulau yang ujung-ujung, yang perginya susah berhari-hari itu yang mau saya lakukan,” tegasnya.
Dia ingin mencintai Maluku dengan cara lebih personal lagi. Karena Maluku bukan hanya anak-anak yang harus dirawat. Tapi dirinya punya pemahaman baru bahwa mencintai Maluku harus mencintai lebih dalam lagi akar budayanya.
“Waktu akan menjawab kapasitas Dwi Prihandini bahwa saya tidak ada tendensi di politik. Bisa di cek, saya sudah tahun ketujuh di Maluku. Saya tidak terdaftar di keanggotaan partai manapun,” ujarnya.
Bahkan dirinya pernah mengeluarkan surat pada salah satu relawan, karena ada yang mengikuti partai politik. Dini menonaktifkan relawan tersebut.
“Kalau ikut dengan saya, saya tidak mau terlibat konflik interest. Saya tidak mau ada konflik kepentingan. Jadi silakan nonaktif. Jadi orang ada yang anggap aneh, karena ditinggal mati laki-laki ini saja (Clerry). Kalau dia bisa kembali selesai. Tapi dia tidak bisa kembali jadi ini yang bisa saya lakukan di Maluku,” terangnya.
Dini menuturkan, ketika berada pada kondisi berhadapan dengan disabilitas, dirinya suka mengucap dalam hati, “Terima kasih Clerry su bawa beta ke Maluku. Beta bahagia bisa keliling Maluku meski Ale seng ada lai. Tuhan pung cara kasi pisah katong, supaya ale bisa jaga beta dari sana.”
Pada akun instagramnya Dwi Prihandini menuliskan pesan: Cinta asmara boleh tapisah mar cinta voor Maluku seng bole tapisah. Merana ditinggal mati itu urusan takdir. Mengembara di Maluku itu urusan nadir.(TIARA)
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi